Kami memberi bantuan dengan menyediakan bahan-bahan tesis gratis yang berguna untuk menambah referensi anda dalam penyusunan tesis. Tesis yang kami sediakan yaitu mengenai masalah pemerintahan, pembangunan daerah, kemasyarakatan, serta managemen

Cara bertranksaksi :

1. SMS ke 0898 151 7238, judul yang anda pilih pada Daftar Judul Tesis dan alamat email anda untuk pengiriman file

2. kirim/transfer biaya tesis (Rp. 120.000,-*) ke :

3. SMS lagi bahwa anda telah melakukan transfer

4. kemudian kami cek ke rekening dan segera mengirimkan email berisi tesis pesanan anda


Harganya sama halnya bila anda mencopynya dalam bentuk kertas di perpustakaan, tapi kelebihannya kami menyediakan dalam bentuk file word dan pdf, sehingga mempermudah anda dalam membaca di komputer atau di laptop.

Terima kasih telah menjadikan tesis tersebut sebagai bahan referensi bukan sebagai bahan jiplakan. kami tidak mendukung plagiat, bahan tersebut disediakan sebagai referensi dalam penulisan tugas akhir, bila anda merasa keberatan karyanya kami tampilkan dan menjadi bahan referensi bagi para peneliti lainnya, bisa kami hapus dari daftar ini, silahkan hubungi ke alamat email

*biaya tsb hanya sebagai pengganti biaya maintenance weblog, pencarian bahan, operasional pulsa dan connecting internet

Friday, May 2, 2008

Evaluasi Alokasi Komponen Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan dalam Perbandingannya Terhadap Repetada Kabupaten Tanah Laut

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana telah kita ketahui, sejak Januari 2001 Pemerintah telah memberlakukan 2 (dua) Undang-undang yang berkenaan dengan Pemerintahan Daerah yaitu, pertama adalah Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan kedua adalah Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Adapun isi pokok dari Undang-undang Nomor 22/1999 adalah dilakukannya penyerahan kewenangan di bidang pemerintahan dari Pemerintah Pusat (Pemerintah) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kecuali untuk bidang-bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.(Pasal 7 UU No. 22/1999). Sedangkan Undang-undang Nomor 25/1999 dibuat dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi daerah, isi pokoknya adalah pengalokasian (pembagian) dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah agar dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah.

Suatu negara pada hakekatnya mengemban 3 (tiga) fungsi utama yaitu fungsi alokasi yang meliputi antara lain, alokasi dana sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan atau jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi yang meliputi antara lain kebijakan pemerintah dalam hal pemerataan pembangunan, pendapatan dan kekayaan, dimaksudkan agar dapat mengurangi tingkat kesenjangan dalam masyarakat, fungsi stabilisasi yang meliputi antara lain, pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter agar terpelihara kesempatan kerja yang tinggi, kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai.

Pada umumnya pelaksanaan fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi ini lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi oleh pemerintah daerah, karena daerah lebih mengetahui kondisi objektif kebutuhan serta standar pelayanan masyarakatnya (Kunarjo, 1993).

Brodjonegoro dan Shinji (2000:111-122) mengemukakan bahwa otonomi daerah yang lebih luas dan desentralisasi fiskal mungkin menciptakan masalah pokok manajemen pengeluaran negara/pemerintah di tingkat pemerintah daerah. Pemerintah daerah harus mengelola perencanaan, program dan anggaran pengeluaran pembangunan mereka sendiri. Tidak adanya pengalaman dapat menyebabkan pemerintah daerah salah mengatur pengeluaran, karena kekeliruan-kekeliruan dalam prioritasasi (penentuan prioritas) dan pentahapan proyek.

Shah (1994:23) mengemukakan bahwa pada hakekatnya otonomi atau desentralisasi adalah mencari titik optimal dalam penyerahan tanggung jawab antar berbagai tingkatan pemerintahan dalam mendukung terciptanya pemerintahan yang baik (good government). Hal ini berarti pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah provinsi dan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah daerah atau pemerintah pusat langsung kepada pemerintah daerah, selanjutnya pemerintah daerah dapat pula menyerahkan kewenangannya kepada pemerintahan di bawahnya, bahkan kepada masyarakat. Hal ini sangat tergantung pada penilaian kinerja pengelolaan dari penyerahan kewenangan tersebut. Davey (1988:81) mengemukakan bahwa efektifitas delegasi kewenangan, kekuasaan dan tanggung jawab tergantung kepada tiga variabel yaitu, luas tanggung jawab yang dipikulkan, tersedianya sumber-sumber dan derajat kebijakan (discreation) dalam melaksanakan fungsi-fungsi dan mengalokasikan sumber-sumber tersebut.

Pemerintah daerah melaksanakan fungsi alokasi dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal yang dituangkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Shah (1994:31-32) menyebutkan bahwa pengeluaran pemerintah membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Selanjutnya Mardiasmo (1999:11) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah, karena anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi penting dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran dan otorisasi pengeluaran di masa yang akan datang. Dengan demikian DPRD dan Pemda harus berupaya secara konkrit dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang betul-betul mencerminkan kebutuhan riil masyarakat di daerah sesuai dengan potensi masing-masing, preferensi daerah yang tertuang dalam Pola Dasar Daerah, Repelitada dan Repetada agar penggunaan anggaran lebih optimal dan sasaran pembangunan untuk peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dapat dicapai. Dalam setiap Inmendagri tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, seperti Inmendagri No.4 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyususnan APBD tahun Anggaran 1999/2000 juga ditegaskan bahwa anggaran belanja pembangunan harus disusun berdasarkan hasil survey, investigasi dan desain (SID).

Berdasarkan hasil pengamatan dari pengalaman penulis terlibat secara langsung dalam penyusunan anggaran daerah di Kabupaten Tanah Laut, masih ada penggunaan anggaran yang kurang tepat pada sasaran, seperti penentuan skala prioritas kurang berjalan sebagaimana mestinya, yaitu lebih mengutamakan pada pemerataan anggaran untuk setiap unit kerja, akibatnya suatu program/proyek dilaksanakan bukan sepenuhnya untuk mencapai sasaran kerja secara utuh. Selain itu, intervensi perencanaan anggaran baik belanja rutin maupun belanja pembangunan masih mewarnai proses penyusunan APBD, hal ini ditunjukkan masih ada program/proyek yang masuk APBD tidak melalui terminal (hasil Rakorbang), melainkan masuk dalam perjalanan, bahkan yang sudah masuk lewat terminalpun diturunkan. Intervensi anggaran tidak hanya pada perencanaan, tetapi juga pada pelaksanaan sehingga terjadi penggunaan anggaran tidak sesuai dengan yang tertuang dalam APBD, karena ada perubahan penggunaannya. Keadaan ini antara lain disebabkan masih banyak proyek daerah yang cenderung hanya sebagai ‘perpanjangan tangan’ pemerintah pusat serta pengendalian dan pengarahan dari pusat terhadap APBD hampir absolut.

Selama ini penentuan besarnya pengeluaran atau alokasi dana untuk suatu kegiatan oleh suatu unit kerja dilakukan dengan menggunakan pendekatan incremental dan line item. Pendekatan incremental menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar dalam menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan dengan jumlah atau persentase tertentu tanpa alasan lain yang lebih rasional. Suatu unit kerja mengajukan usulan program/proyek kurang berdasarkan proposal yang lebih rasional yang dapat memprediksi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya diperlukan, melainkan berlomba-lomba mengajukan usulan program/proyek sebanyak-banyaknya dan menganggarkannya melebihi kebutuhan riil (overestimate). Selain itu suatu unit kerja membuat usulan program/proyek lebih mendahulukan angka (uang) daripada sasaran program itu sendiri sehingga program/proyek tersebut kurang layak untuk dilaksanakan tetapi karena anggarannya sudah disahkan dalam APBD, maka tetap dilaksanakan guna menghabiskan anggaran tersebut.

Pendekatan incremental seperti ini tidak saja kurang menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, juga dapat mengakibatkan kesalahan berkelanjutan, karena tidak diketahuinya pengeluaran periode sebelumnya, apakah sudah didasarkan kepada kebutuhan yang wajar.

Pendekatan line-item, yaitu rancangan anggaran yang didasarkan item yang telah ditentukan pada periode sebelumnya mengakibatkan pemerintah daerah tidak dapat mengganti satu atau lebih item pengeluaran yang telah ada sekalipun keberadaannya mungkin sudah tidak layak lagi.

Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta diterapkannya PP No.104 tahun 2000 tentang Dana Perimbangan dan PP No. 84 tahun 2001 tentang Perubahan atas PP No.104 tentang Dana Perimbangan, diperkirakan APBD Kabupaten Tanah Laut akan mengalami peningkatan penerimaan daerah yang cukup besar. Sumber utamanya dari Dana Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum dan bagi hasil sumber daya alam. Peningkatan penerimaan ini akan memberikan peluang yang sangat besar bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Tanah Laut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, apabila pengelolaan keuangan daerah dapat dilakukan secara ekonomis, efisien dan efektif yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Hal ini dapat ditempuh antara lain melalui realokasi anggaran pembangunan yaitu, paradigma tentang penggunaan anggaran belanja yang selama ini lebih terkonsentrasi pada program atau proyek yang berbasis pada prasarana fisik dialihkan pada program yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Dari data yang ada untuk tahun anggaran 2000, nilai belanja rutin sebesar Rp 38,16 milyar (72,12%) serta nilai belanja pembangunan sebesar Rp 14,75 milyar (27,88%) dan nilai proyek infrastruktur mencapai Rp 7,5 milyar (50% dari total belanja pembangunan), sedangkan proyek yang berbasis ekonomi (pemberdayaan masyarakat) hanya Rp 2 milyar (13,6% dari total belanja pembangunan). Pemikiran paradigma berbasis pemberdayaan masyarakat tersebut akan timbul, apabila pemerintah daerah menyadari pola alokasi anggaran belanja pembangunan yang telah dilaksanakan selama Repelitada VI dan Masa Transisi Otonomi Daerah. Untuk itu diperlukan adanya evaluasi dan publikasi tentang gambaran pola anggaran yang nyata selama periode tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis mengambil judul untuk penulisan tesis ini adalah : “Evaluasi Alokasi Komponen Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan dalam Perbandingannya Terhadap Repetada Kabupaten Tanah Laut”. Alasan yang mendasari pemilihan judul ini, antara lain, pertama, selama ini evaluasi untuk belanja pembangunan hanya menyangkut daya serap keuangan dibandingkan kemajuan fisik pembangunan, tidak pernah evaluasi dikaitkan dengan dokumen perencanaan yang ada; kedua, Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu Kabupaten yang dilibatkan dalam Proyek Percontohan Otonomi Daerah. (Kepmendagri No. 105 tahun 1994). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah alokasi anggaran belanja rutin dan belanja pembangunan dalam APBD Kabupaten Tanah Laut selama Repelitada VI TA 1994/1995-1998/1999 telah berorientasi kepada kepentingan publik dan apakah alokasi belanja rutin dan belanja pembangunan telah menunjukkan pada anggaran yang berpijak kepada dokumen perencanaan yang ada?.

1.2 Keaslian Penelitian

Studi yang kritis tentang evaluasi anggaran belanja rutin dan belanja pembangunan terhadap kinerja anggaran masih terbatas, diantaranya Shah (1994) melakukan penelitian tentang perbaikan hubungan fiskal antar pemerintahan di negara sedang berkembang. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan pengeluaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan tingkat kinerja bagi keberadaan program pemerintahan, baik yang berasal dari tingkat kabupaten maupun provinsi. Pengeluaran pemeintah daerah tercermin pada anggaran daerah sehingga pengeluaran pemerintah daerah membantu dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan serta sumber pengembangan ukuran-ukuran standar dan evaluasi kinerja semua aktifitas berbagai unit kerja.

Penelitian yang dilakukan Masrizal (1998) membahas mengenai penerapan sistem anggaran tradisional di negara sedang berkembang sudah tidak mampu lagi mengantisipasi kegiatan-kegiatan pemerintah yang semakin kompleks dan struktur organisasi yang semakin moderen. Dengan membahas 3 (tiga) model sistem anggaran yang sangat populer yaitu traditional budgeting, planning programming budgeting system dan zero based budgeting.

Setwilda Provinsi Jawa Tengah bersama tim peneliti Universitas Sebelas Maret (UNS,1999) meneliti tentang standarisasi pengeluaran pemerintah daerah di Provinsi Jawa Tengah. Dalam penelitian itu dibangun beberapa skenario pengalokasian anggaran untuk kelompok belanja rutin non- belanja pegawai. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa besar dana maksimal yang digunakan untuk urusan pemerintahan 63,03% dari total belanja rutin non-belanja pegawai dan 37,97% digunakan untuk operasional pelayanan publik.

Penelitian yang hampir sama telah dilakukan oleh Ediharsi dkk (1998) di Kabupaten/Kodya Banda Aceh, Bukit Tinggi, Kampar, Jambi dan Cirebon. Penelitian tersebut dititikberatkan pada praktek penyusunan anggaran daerah yang lebih banyak difokuskan pada standar peraturan dan teori keuangan daerah serta kendala-kendala yang dihadapi dalam penyusunan APBD. Begitupun Faridy (2001) melakukan penelitian mengenai alokasi belanja rutin dan belanja pembangunan terhadap kinerja APBD di Kabupaten Muara Enim menunjukkan bahwa alokasi komponen belanja rutin dalam APBD belum sepenuhnya dilaksanakan secara ekonomis dan efisien, begitupun alokasi belanja pembangunan dalam APBD masih kurang efektif. Aspek yang membedakan penelitian yang akan dilaksanakan ini dengan Ediharsi (1998) dan Faidy (2001), adalah penelitian ini: pertama, membahas praktek penyusunan anggaran terutama perbandingan penyusunan anggaran belanja pembangunan kaitannya dengan Repetada, kedua, lokasinya di Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan.

Persamaannya adalah : pertama, proses penyusunan anggaran pembangunan dilakukan dengan pendekatan dari bawah (bottom up planning) yang diawali dari Musbangdes sampai Rakorbang II, kedua, difokuskan pada kinerja belanja rutin dan belanja pembangunan dan ketiga, untuk mengetahui persepsi aparatur pemerintah daerah yang terkait dalam proses penyusunan anggaran daerah.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektifitas alokasi belanja rutin dengan menganalisis proporsi komponen belanja rutin terhadap total belanja rutin dan terhadap total belanja rutin non- belanja pegawai;

2. untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektifitas alokasi belanja pembangunan dengan menganalisis proporsi sektor belanja pembangunan terhadap total belanja pembangunan.

3. untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektifitas perencanaan pembangunan dengan menganalisis perbandingan antara realisasi belanja pembangunan menurut sektor dalam APBD terhadap rencana anggaran belanja pembangunan menurut sektor dalam Repetada.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian adalah :

1. sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Tanah Laut dalam memberi arah dan alternatif kebijakan yang berkaitan dengan penyusunan anggaran daerah, baik untuk belanja rutin maupun untuk belanja pembangunan;

2. memperkaya khasanah pengkajian tentang aspek keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

No comments: