1.1 Latar Belakang
Adapun yang menjiwai dari pelaksanaan otomoni daerah adalah Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Daerah diberi kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Tujuan dari pada otonomi daerah adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta meningkatkan pembinaan kesetabilan politik dan kesatuan bangsa (Pide, 1999: 272).
Dalam rangka mempersiapkan otonomi daerah tersebut maka perlu adanya suatu kegiatan yang disebut dengan Pengembangan Kemampuan Pemerintah Kota (PKPK). Adapun tujuan dari kegiatan PKPK untuk meningkatkan kemampuan aparat dan kelembagaan pemerintah sehingga dalam jangka panjang mampu mewujudkan Good Governance, dalam jangka pendek mampu melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dalam rangka membangun dan memberi pelayanan umum di daerah, serta mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan umum (Renstra Kota Denpasar,2000: 1).
Konsekuensi logis diberlakukanya otonomi daerah tersebut, pemerintah daerah harus siap menanggung beban dan tanggung jawab untuk mengatur sumber dana dan daya yang ada, untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan pembangunan perlu adanya dukungan pembiayaan baik yang bersumber dari potensi yang dimiliki pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Menurut Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan pada pasal 79 sumber penerimaan daerah dalam komponen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah adalah Penerimaan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Penerimaan yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pembiayaan pembangunan yang digali dari potensi yang dimiliki oleh daerah yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah.
Peningkatan sumber pembiayaan pembangunan yang bersumber dari potensi daerah dapat dilakukan dengan pertama, mencari terobosan-terobosan inovatif yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan pemerintah pusat. Upaya kedua, dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi unit-unit yang ada di dalam pemerintah daerah di mana unit-unit tersebut diharapkan mampu mendayagunakan sumber-sumber daya yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan terhadap masyarakat. Upaya pertama tidak mudah untuk dilaksanakan terutama pada unit pelaksana Rumah Sakit Umum Daerah, mengingat keberadaan Rumah Sakit Umum Daerah mempunyai tujuan pelayanan umum yang tidak berorientasi pada keuntungan. Oleh karena adanya Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No.159b/Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit disebutkan pada pasal 25, bahwa rumah sakit pemerintah harus melaksanakan fungsi sosialnya dengan menyediakan fasilitas untuk merawat penderita yang kurang mampu atau tidak mampu sekurang-kurangnya 75 persen dari kapasitas tempat tidur yang tersedia dan untuk rumah sakit swasta sekurang-kurangnya 25 persen dari kapasitas tempat tidur yang tersedia. Upaya kedua lebih menekankan pada pembenahan ke dalam yang sekaligus dapat digunakan untuk menepis sinyalemen sementara kalangan yang menyatakan adanya ketidakefisienan rumah sakit umum daerah dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.
Rumah sakit merupakan suatu institusi yang komplek, dinamis, kompetitif, padat modal dan padat karya yang multidisiplin serta dipengaruhi oleh lingkungan yang selalu berubah. Namun rumah sakit selalu konsisten tetap untuk menjalankan misinya sebagai institusi pelayanan sosial, dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat banyak dan harus selalu memperhatikan etika pelayanan. Ada beberapa faktor penting yang secara doniman mempengaruhi pengembangan dan peningkatan rumah sakit di Indonesia, (lihat Farida,1996: 5):
1. perkembangan sosial ekonomi masyarakat;
2. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran;
3. perkembangan macam-macam penyakit;
4. tersedianya anggaran atau dana untuk pengembangan dan peningkatan rumah sakit;
5. perkembangan dan kemajuan manajemen termasuk manajemen rumah sakit;
6. adanya persaingan rumah sakit;
7. perubahan-perubahan kebijakan pemerintah, terutama mengenai pelayanan di bidang kesehatan;
Ketujuh faktor ini akan menjadi peluang bagi rumah sakit untuk meningkatkan segala aspek yang menunjang agar kualitas pelayanan yang diberikan akan semakin baik dan profesional. Setiap pimpinan rumah sakit selalu berkepentingan dan memiliki tanggung jawab langsung dalam meningkatkan kinerja (performance). Kemampuan untuk mengukur kinerja rumah sakit (performance measurement) merupakan salah satu prasyarat bagi pimpinan untuk dapat memobilisasi sumber daya secara efektif. Pengukuran kinerja dapat memberi arah pada keputusan strategis yang menyangkut perkembangan rumah sakit dimasa yang akan datang.
Kinerja Rumah Sakit Umum Daerah sangat ditentukan oleh skala kegiatan ekonomi daerah yang bersangkutan. Bagi daerah yang memiliki skala kegiatan ekonomi yang tinggi, tentunya akan memiliki kinerja yang tidak dapat disejajarkan dengan daerah yang memiliki skala ekonomi yang rendah (Makhfatih, 1997: 1-2).
Dalam pembiayaan operasional rumah sakit, selama ini masih sepenuhnya bergantung pada anggaran pemerintah daerah setempat. Di lain pihak dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah, diharapkan Rumah Sakit Umum Daerah sebagai unit penghasil dari retribusi pelayanan kesehatan dapat dikelola secara profesional. Sumber-sumber pembiayaan Rumah Sakit Umum Daerah dalam pelaksanaan opersional pelayanan kesehatan adalah APBD Tk.II, SBBO, dan OPRS yang dalam penggunaanya bertujuan untuk peningkatan penerimaan Rumah Sakit Umum Daerah dan perluasan cakupan pelayanan kesehatan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Diharapkan dalam pemberian kualitas pelayanan kesehatan untuk dapat ditingkatkan, mengingat dewasa ini persaingan terhadap jasa pelayanan kesehatan telah berkembang dengan pesat.
Untuk lebih jelasnya tentang perkembangan sumber-sumber pembiayaan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Negara, dalam rangka menunjang operasional selama tiga tahun anggaran 1997/1998 – 1999/2000 sebagaimana tabel berikut:
Tabel 1.1
Sumber Dana RSUD Negara, 1997/1998 -1999/2000
Uraian | Pencapaian (Rupiah) | ||
| 1997/1998 (Rp) | 1998/1999 (Rp) | 1999/2000 (Rp) |
APBD Tk.II | 188.976.000,00 | 317.355.500,00 | 411.574.500,00 |
SBBO | 347.067.000,00 | 100.157.000,00 | 159.213.000,00 |
OPRS | 74.480.000,00 | 376.000.000,00 | 240.126.000,00 |
Sumber: RSUD Kabupaten Jembrana, Perhitungan APBD Kabupaten Jembrana, Beberapa Terbitan (diolah).
Dari tabel tersebut secara umum terlihat bahwa terjadinya peningkatan penggunaan dana dari ketiga sumber dana, kecuali pada sumber dana SBBO dimana pada T.A. 1998/1999 terjadi penurunan sebesar 71 persen dari tahun anggaran sebelumnya dan terjadi peningkatan sebesar 58 persen pada T.A. 1999/2000. Peningkatan penggunaan dana yang paling besar, pada sumber dana OPRS T.A. 1998/1999 sebesar 404 persen.
Selama kurun waktu tiga tahun anggaran 1997/1998 sampai dengan tahun 1999/2000, besarnya kontribusi retribusi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Negara terhadap Pendapatan Asli Daerah dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.2
Kontribusi Retribusi RSUD Negara, 1997/1998 – 1999/2000
Tahun | Penerimaan Retribusi RSUD (Rp) | Penerimaan | Kontribusi |
Pendapatan Asli Daerah (Rp) | (%) | ||
1997/1998 | 185.939.015,00 | 2.488.001.181,00 | 7 |
1998/1999 | 190.890.477,00 | 3.151.080.481,00 | 6 |
1999/2000 | 189.171.995,00 | 2.534.019.997,00 | 7 |
Sumber: Lihat tabel 1.1 (diolah).
Dari tabel 1.2, bahwa selama tiga tahun anggaran, kontribusi penerimaan Rumah Sakit Umum Daerah Negara terhadap Pendapatan Asli Daerah relatif cukup kecil, yaitu 7 persen tiap tahunnya. Bila dibandingkan antara penerimaan dengan pembiayaan yang bersumber dari tiga sumber pembiayaan ini berarti bahwa Rumah Sakit Umum Daerah Negara masih sangat tergantung dari anggaran pemerintah daerah setempat.
Dari aspek cakupan pelayanan, rumah sakit yang tergolong tipe klas C berdasarkan S.K. Men.Kes R.I. No. 1167/Men.Kes/SK/XII/1993 tentang Peningkatan Klas Rumah Sakit Umum Daerah Milik Pemerintah Daerah Tk.II Jembrana dan ditindaklanjuti Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk.I Bali No.307 Tahun 1994 tentang Penetapan dan Peningkatan Klas R.S. Umum Daerah Kab/Kotamadya Daerah Tk.II se-Bali, selama tiga tahun dari tahun 1997-1999 mempunyai cakupan pelayanan dan kegiatan sebagaimana pada tebel berikut:
Tabel 1.3
Cakupan Pelayanan dan Kegiatan RSUD Negara, 1997 – 1999
No. | Uraian | Pencapaian Kegiatan | ||
| | 1997 | 1998 | 1999 |
1 | Jumlah Medis | 18 | 19 | 23 |
2 | Jumlah Paramedis | | | |
| *Perawatan | 113 | 122 | 188 |
| *Non Perawatan | 26 | 25 | 28 |
3 | Jumlah Non Medis | 59 | 59 | 62 |
4 | Jumlah Hari Perawatan | 23.794 | 21.049 | 21.423 |
5 | Jumlah Hari Pasien Inap | 24.631 | 22.173 | 21.953 |
6 | Jumlah Kunj. Pasien Jalan | 43.104 | 39.564 | 38.778 |
Sumber: RSUD Kabupaten Jembrana, Laporan Tahunan RSUD Kabupaten Jembrana, Beberapa terbitan (diolah).
Memperhatikan kondisi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Jembrana selama kurun waktu tiga tahun anggaran, sangatlah menarik untuk mengetahui kinerjanya dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit yang bersangkutan. Pengukuran kinerja haruslah bersifat berkelanjutan di dalam upaya menciptakan perbaikan maupun peningkatan pelayanan. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan teknik Data Envelopment Analysis (DEA) di dalam mengukur kinerja dan Service Quality (SERVQUAL) dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Jembrana.
No comments:
Post a Comment