1.1 Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur baik materil maupun spiritual (GBHN). Pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang ini mempunyai arti tersendiri karena memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih menyiapkan diri sehingga mampu mengantisipasi sedini mungkin segala kemungkinan–kemungkinan yang akan terjadi dalam persaingan, baik persaingan yang datang dari luar negeri maupun persaingan yang datang dari dalam negeri sendiri.
Suatu negara dengan wilayah yang luas membutuhkan suatu sistem pemerintahan (governance) yang baik. Sistem ini sangat diperlukan setidaknya oleh dua hal: pertama sebagai alat untuk melaksanakan berbagai pelayanan publik di berbagai daerah. Kedua sebagai alat bagi masyarakat setempat untuk dapat berperan serta aktif dalam menentukan arah dan cara mengembangkan taraf hidupnya sendiri selaras dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam koridor kepentingan-kepentingan nasional.
Untuk tujuan itu banyak yang harus kita lakukan, salah satunya adalah desentralisasi, yaitu pelimpahan tanggung jawab fiskal, politik dan administrasi kebijakan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Di Indonesia lingkungan legal dan regulasi pokok untuk desentralisasi terangkum dalam tiga undang-undang yaitu UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan UU Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ketiga undang-undang tersebut tidak berdiri sendiri secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan untuk mewujudkan daerah otonom yang ekonomis, efisien, efektif, transparan, akuntabel dan responsif secara berkesinambungan. Pada era reformasi sekarang ini, dengan telah dikeluarkannya Undang-undang tadi sangat penting artinya dalam kehidupan sistem ketatanegaraan khususnya sistem pemerintahan pusat dan daerah, serta sistem hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah karena akan membawa perubahan yang mendasar pada upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Selama ini kritik yang muncul adalah terlalu dominannya peranan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah. Besarnya dominasi ini seringkali mematikan aspirasi, inisiatif dan prakarsa daerah, sehingga memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis dari pusat. Contoh klasik dari fenomena tersebut adalah penyusunan anggaran daerah yang bersifat line-item dan incrementallism. Dengan dasar seperti ini, anggaran daerah masih berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Selain itu istilah otonomi banyak bersifat politis. Disebutkan bahwa otonomi pada daerah tingkat II akan bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab, tapi dalam kenyataannya fleksibilitas yang diberikan bagi Pemerintah Daerah kurang memadai. Otonomi yang didengung-dengungkan tidak disertai dengan pelimpahan peralatan dan perlengkapan, personal serta pembiayaan khusus dari Pemerintah Pusat. Selain DKI Jakarta daerah-daerah lain sangat tergantung pada sumber dana yang berasal dari pusat, yang sebagian besar bersifat specifik grants dan sedikit saja yang bersifat block grants.
Selain tuntutan otonomi yang sangat kuat dari Pemerintah Daerah, tuntutan akan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih rasional, proposional, dan nyata tidak hanya sekedar jargon-jargon politik. Demikian pula tuntutan atas pemerintahan yang baik (good governance) dalam arti pemerintahan yang bersih (jujur), terbuka (transparan) dan bertanggungjawab (akuntabel) terhadap masyarakat. Dengan demikian perimbangan keuangan pusat dan daerah yang adil saja belum cukup, masih harus diperlukan pengelolaan atas keuangan daerah, baik yang berasal dari pusat maupun yang berasal dari Pemerintah Daerah sendiri. Kedepan diharapkan adanya pengelolaan keuangan daerah yang baik serta dapat meningkatkan ekonomis, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dan kesejahtraan masyarakat.
Dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, secara jelas disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1, huruf e, UU No. 22/1999). Hal ini berarti otonomi menjadi hal yang sangat penting bagi daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kota dan kabupaten didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang sangat luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi mencakup pula kewenangan yang penuh dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaporan dan evaluasi. Konsekuensi logis dari desentralisasi tersebut, akan ada pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana, baik yang berasal dari Pemerintah Pusat (sesuai dengan urusan yang telah diserahkan) maupun dana yang berasal dari Pemerintah Daerah sendiri. Untuk pengelolaan dana yang cukup besar ini diperlukan juga peraturan pelaksana yang lebih kongkret dan lebih jelas, seperti Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka pertanggungjawaban publik, Pemerintah Daerah harus melakukan optimalisasi anggaran yang dilakukan secara ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (value for money) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengalaman yang terjadi selama ini menunjukan bahwa manajemen keuangan daerah masih memprihatinkan. Anggaran daerah, khususnya pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembangunan di daerah. Di sisi lain banyak ditemukan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas dan kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, karena kualitas perencanaan anggaran daerah relatif lemah. Lemahnya perencanaan anggaran juga diikuti dengan ketidakmampuan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan. Sementara itu pengeluaran daerah terus meningkat, sehingga hal tersebut meningkatkan fiscal gap. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan underfinancing atau overfinancing yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat ekonomi, efisiensi dan efektivitas unit kerja Pemerintah Daerah.
Memasuki era melenium ke-3, masyarakat daerah Kabupaten Kutai memiliki komitmen yang kuat bagi terwujudnya masyarakat madani yang adil dan makmur berasaskan rasa persatuan bangsa. Potensi kekayaan daerah Kutai yang besar merupakan salah satu modal dasar untuk mewujudkan cita-cita Kutai masa depan. Sebagai salah satu kabupaten yang ada di Indonesia Kabupaten Kutai juga memiliki permasalahan pada pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak pada tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1
Rasio BHP/BP terhadap APBD Kabupaten Kutai,
1996/1997 – 2000
TAHUN ANGGARAN | REALISASI BHP/BP (Rp. Milyar) | REALISASI APBD (Rp. Milyar) | RASIO (%) | PERTUMBUHAN BHP/BP (%) |
1996/1997 | 115,68 | 194,35 | 59,52 | - |
1997/1998 | 89,29 | 184,44 | 48,41 | -22,81 |
1998/1999 | 151,96 | 254,32 | 59,75 | 70,18 |
1999/2000 | 201,14 | 370,87 | 51,29 | 32,36 |
2000 | 151,18 | 284,86 | 53,07 | -24,84 |
Sumber: Bagian Keuangan Kabupaten Kutai, Perhitungan APBD, beberapa penerbitan (diolah)
Tabel 1.1 menggambarkan rasio BHP/BP terhadap APBD dan pertumbuhannya dari tahun 1996/1997 sampai dengan tahun 2000, dapat dikemukakan bahwa rasio BHP/BP terhadap APBD lebih dari 50 %. Keadaan ini berarti bahwa lebih dari setengah APBD merupakan kontribusi dari BHP/BP, dengan pertumbuhan yang semakin meningkat, karena Kabupaten Kutai mempunyai sumber daya alam yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut di atas, serta untuk mengetahui pengelolaan dana desentralisasi yang cukup besar, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Kutai selama tahun anggaran 1996/1997 – 2000 telah menunjukkan kinerja anggaran (performance budgeting) dengan prinsip value for money yang berorientasi pada kepentingan masyarakat (public oriented)?
1.2 Keaslian Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan efisien dan efektivitas ditinjau dari aspek sistem pengelolaan keuangan daerah memang telah banyak dilakukan diantaranya adalah Insukindro dkk. (1994) membahas mengenai pajak dan retribusi sebagai sumber utama PAD, menemukan bahwa pada umumnya peran retribusi daerah lebih dominan dalam menentukan besaran PAD. Sumbangan PAD terhadap total penerimaan APBD rendah, karena upaya merealisasikan peningkatan PAD tidak didasarkan pada potensi PAD, tetapi ditargetkan berdasarkan realisasi tahun sebelumnya. Medi (1996) meneliti kinerja pengelolaan keuangan daerah, bahwa untuk mencapai efisiensi pengelolaan keuangan daerah maka pengeluaran-pengeluaran yang tidak bermanfaat sedapat mungkin dikurangi, untuk mencapai efektivitas perlu menggali sumber-sumber pendapatan baru.
Kuncoro (1995) mengamati masalah rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah di 27 propinsi di Indonesia, selama tahun 1984/1985-1990/1991, sehingga menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat dan menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang relatif luas sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangannya sendiri dan memanfaatkannya dengan optimal. Hal ini diperkuat juga dengan fakta bahwa hanya 38,88% penerimaan Propinsi-propinsi di Indonesia yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri, sehingga menimbulkan ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat yang sangat tinggi (Nazara, 1997: 17-25).
Radianto (1997) menganalisis tentang peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai pembangunan di seluruh Daerah Tingkat II Maluku dengan melihat pengaruh tingkat perkembangan ekonomi daerah dan bantuan Pemerintah Pusat terhadap Derajat Otonomi Fiskal, menemukan bahwa tingkat perkembangan ekonomi daerah dan jumlah penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan derajat otonomi fiskal daerah. Selanjutnya Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian di Amerika Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi dan menemukan bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Implikasinya adalah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus dapat mendorong penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara tepat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Devas (1997) menyatakan desentralisasi telah menjadi tema yang utama dari pemerintah akhir-akhir ini. Namun pendekatan desentralisasi di antara negara-negara mempunyai perbedaan yang lebar. Intinya, desentralisasi berbeda maksudnya oleh orang yang berbeda, namun penting dalam proses politik dan ekonomi suatu daerah. Kim (1997) meneliti peran sektor publik lokal dalam pertumbuhan ekonomi regional Korea menyimpulkan bahwa peran Pemerintah Daerah di dalam pertumbuhan ekonomi regional adalah signifikan. Pendapatan pajak dan non pajak daerah memiliki pengaruh negatif signifikan pada pertumbuhan ekonomi regional. Sementara investasi dan konsumsi Pemerintah Daerah memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Mardiasmo (2001) membahas pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik menyimpulkan bahwa line-item dan incrementalism sebaiknya diganti dengan model yang lebih baik, agar anggaran daerah lebih dekat dengan gerak dinamis kebutuhan dan prioritas masyarakat. Khan (1994) dalam penelitian mengemukakan bahwa penelitian terhadap value for money (VFM) juga dapat melihat lebih jauh keefektifan dari sistem dan prosedur pengawasan internal. Aspek manajemen keuangan daerah, memberdayakan internal auditor (Inspektorat) dan pengembangan mekanisme horizontal communication merupakan prasyarat untuk meningkatkan akuntabilitas anggaran daerah. Dari segi pengambilan keputusan perlu juga difikirkan tentang peranan DPRD, independensi, kemandirian dan kinerja DPRD harus ditingkatkan agar dapat bersama-sama meningkatkan kinerja value for money, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas Pemerintah Daerah sepanjang waktu. Dari beberapa hasil penelitian terdahulu, perbedaan yang mendasar dengan penelitian ini terletak pada tempat di mana penelitian ini dilakukan yaitu Kabupaten Kutai Propinsi Kalimantan Timur.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan pokok yang telah dikemukanan di atas maka secara spesifik penelitian ini adalah untuk:
1. mengetahui perkembangan keuangan daerah Kabupaten Kutai dilihat dari kontribusi PAD, BHP/BP dan Sumbangan dan Bantuan terhadap APBD, serta pertumbuhan PAD, BHP/BP, Sumbangan dan Bantuan dan APBD, selama periode tahun anggaran 1996/1997 sampai 2000;
2. mengetahui proporsi dan pertumbuhan komponen belanja rutin terhadap total belanja rutin;
3. mengetahui besarnya proporsi dan pertumbuhan sektor belanja pembangunan terhadap total belanja pembangunan.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai dalam rangka untuk lebih meningkatkan pengelolaan keuangan daerah;
2. dapat menjadi masukan bagi rekan-rekan yang berminat dan tertarik memperdalam penelitian keuangan daerah;
3. dapat memberikan informasi pada masyarakat tentang keadaan pengelolaan keuangan di Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai;
No comments:
Post a Comment