1.1 Latar Belakang
Semangat reformasi di berbagai bidang, mengharuskan pemerintah menanggapi tuntutan tersebut yang salah satu tuntutan dimaksud adalah pelaksanaan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab. Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah pada prinsipnya adalah mengatur penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang lebih mendekatkan pada fungsi pelayanan kepada masyarakat, kemandirian untuk mengembangkan daerah, sedangkan dari sisi keuangan diharapkan ada keadilan baru, yaitu yang kaya potensi sumber daya alam (SDA) akan mendapat banyak pendapatan. Titik berat penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan akan mampu terlaksana dengan baik, karena bagaimanapun bahwa daerah tentu lebih banyak mengerti mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.
Dilaksanakannya otonomi daerah sebagaimana dimaksud, tentu saja akan membawa konsekuensi pada daerah yang bersangkutan untuk melakukan penataan di berbagai segi akibat terjadinya perubahan-perubahan termasuk masalah kelembagaan dan keuangan di daerah dengan tuntutan mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance (LAN dan BPKP, 2000:1). Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk dapat mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Dalam rangka itu, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna. Perlunya sistem pertanggungjawaban daerah atas segala proses tindakan-tindakan yang dibuat dalam rangka tata tertib menuju instrumen akuntabilitas daerah. Inilah bagian terpenting untuk ditata, yang pada akhirnya menjadi instrumen good governance.
Selama ini pengukuran keberhasilan maupun kegagalan dari instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sulit untuk dilakukan secara obyektif. Pengukuran kinerja suatu instansi hanya lebih ditekankan kepada kemampuan instansi tersebut dalam menyerap anggaran. Suatu instansi dikatakan berhasil melaksanakan tugas pokok dan fungsinya apabila dapat menyerap seratus persen anggaran pemerintah, walaupun hasil maupun dampak dari pelaksanaan program tersebut masih jauh di bawah standar. Untuk dapat mengetahui tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah, maka seluruh aktivitas instansi tersebut harus dapat diukur, dan pengukuran tersebut tidak semata-mata kepada inputs (masukan) dari program akan tetapi lebih ditekankan kepada outputs (keluaran), outcomes (hasil), benefits (manfaat) dan impacts (dampak).
Sistem pengukuran kinerja yang merupakan elemen pokok dari laporan akuntabilitas instansi pemerintah akan mengubah paradigma pengukuran keberhasilan. Melalui pengukuran kinerja, keberhasilan suatu instansi pemerintah dapat dilihat dari kemampuan instansi tersebut dalam mengelola sumber daya sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Pada kenyataannya pelaksanaan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah belum dilaksanakan secara cermat dan menyeluruh di Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Kesulitan tersebut disebabkan karena belum adanya suatu standar ataupun tolok ukur yang disusun untuk suatu sistem pengukuran kinerja yang sekaligus dapat menginformasikan tingkat keberhasilan maupun kegagalan instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi. Kesulitan lain adalah pengukuran tingkat kinerja suatu instansi pemerintah yang dilakukan di waktu-waktu sebelumnya adalah lebih menekankan pada kemampuan instansi tersebut dalam menyerap anggaran yang diberikan kepada instansi yang bersangkutan.
Dengan demikian keberadaan Dinas Kehutanan Provinsi Riau dalam mengemban tugas pokok dan fungsinya diharapkan dapat melaksanakan setiap kegiatannya sesuai dengan yang direncanakan sebagai perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan ataupun kegagalan dari pelaksanaan visi, misi dan strategi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Dari uraian latar belakang di atas, maka penelitian pengukuran kinerja instansi pemerintah sangat menarik untuk dilakukan khususnya pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah belum adanya suatu sistem pengukuran kinerja yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengetahui informasi tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi.
1.2 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kinerja telah dilakukan antara lain oleh Poister dan Streib (1999) yang melakukan penelitian tentang pengukuran kinerja pemerintah kota. Di dalam penelitian ini ditemukan bahwa 60%-80% kota-kota di Amerika Serikat telah melaksanakan pengukuran kinerja dan 40% di antaranya telah memanfaatkan ukuran kinerja secara tepat. Ukuran kinerja yang digunakan adalah pengembangan indikator lalu membandingkan capaian kinerja dengan standar atau target yang penekanannya lebih pada efektivitas pelayanan.
Makhfatih (1997) melakukan penelitian pada Pemerintah Daerah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Makhfatih pengukuran kinerja Pemda dapat dilakukan dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Data yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis maka pembobotan dapat dilakukan dengan tepat untuk mengukur kinerja dengan memberi kesempatan pada setiap pemerintah daerah untuk menentukan pembobotannya masing-masing dan menjamin bahwa pembobotan yang dipilih setiap pemerintah daerah akan menghasilkan ukuran kinerja terbaik bagi pemerintah daerah yang bersangkutan, tetapi pembobotan tersebut dibatasi agar jumlahnya tidak melebihi nilai tertentu misalnya seratus persen.
Murthi, Srinivasan dan Kalyanaram (1996) melakukan penelitian tentang kemampuan kinerja perusahaan agar dapat memberi arah kepada keputusan strategi yang berhubungan dengan perkembangan suatu organisasi di masa depan. Penelitian ini menggunakan analisis DEA untuk mengukur efisiensi relatif dari suatu unit pengambilan keputusan yang di dalamnya banyak input dan output.
Ganevia (2001) meneliti tentang Kinerja Instansi Pemerintah pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Mataram. Penelitian ini menggunakan metoda akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagai alat analisis. Pengukuran kinerja dilakukan dengan memperhatikan program kerja atau kegiatan/program/kebijaksanaan yang dilaksanakan Dinas Pekerjaan Umum Kota Mataram tahun anggaran 2000.
Penelitian tentang pengukuran kinerja pada Dinas Kehutanan Provinsi Riau belum pernah dilakukan. Perbedaan utama penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah selain perbedaan pada lokasi penelitian, penelitian ini juga tidak hanya mengukur kinerja tetapi mengevaluasi kinerja suatu instansi pemerintah.
1.3 Tujuan dan manfaat penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : mengukur dan mengevaluasi kinerja Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun anggaran 2001. Pedoman penyusunan pelaporan yang digunakan adalah akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang diterbitkan oleh LAN dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
1.3.2 Manfaat penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi dinas/instansi pemerintah di Propinsi Riau, khususnya Dinas Kehutanan dalam mengukur dan mengevaluasi kinerjanya berdasarkan kriteria yang dibuat oleh LAN dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
2. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan menganalisis pengukuran kinerja instansi pemerintah.
No comments:
Post a Comment