1.1 Latar Belakang.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang tentang pelaksanaan otonomi daerah, wacana tentang ketimpangan pembiayaan pembangunan antar daerah terus berkembang. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk perbaikan dengan berbagai regulasi dan peraturan, akan tetapi masih terdapat berbagai kekuatiran tentang efektifitas regulasi dan peraturan tersebut dalam menciptakan pemerataan hasil pembangunan oleh pemerintah.
Ada tiga fungsi utama pemerintah dalam pembangunan (Musgrave,1993:3-15) antara lain fungsi alokasi, distribusi dan fungsi stabilisasi, yang saling mendukung dan menjaga serta meningkatkan kesinambungan pembangunan, karena itu, lahirnya undang-undang otonomi daerah merupakan perwujudan dari ketiga fungsi tersebut, yang bertujuan untuk memberikan kewenangan sekaligus pembiayaan kepada daerah, dalam mengatasi berbagai keterbatasan dana yang dibutuhkan untuk penyediaan pelayanan publik.
Salah satu bentuk kewenangan dan pembiayaan yang nantinya dapat dilakukan pemerintah daerah dalam mengatasi berbagai keterbatasan pembiayaan pembangunan diberikannya kewenangan dalam melakukan pinjaman. Walaupun pinjaman daerah ini masih dikendalikan oleh pusat atau mesti siizin pusat, akan tetapi setidaknya pinjaman tersebut merupakan alternatif sumber penerimaan daerah. Ada tiga faktor utama pinjaman pemerintah daerah dikendalikan pusat (Devas, 1989:222) antara lain;
1. Pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan, karena berkaitan dengan kebijaksanaan moneter terutama untuk mengendalikan inflasi.
2. Untuk mencegah jangan sampai pemerintah daerah terjerumus dalam kesulitan keuangan, karena pinjaman digunakan untuk menutupi pengeluaran rutin.
3. Pemerintah pusat ingin tetap mengendalikan pola pengeluaran penanaman modal pemerintah daerah.
Pengendalian pinjaman ini tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 Tentang Pinjaman Daerah. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa, pinjaman daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sedangkan pasal 11 menjelaskan bahwa;
1. Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebahagian anggarannya.
2. Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui pemerintah pusat.
3. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan asset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
4. Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.
Kemudian dijabarkan lagi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 107 mengenai pinjaman daerah, yang mengatur tata cara syarat, prosedur dan kemampuan pengembalian pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah secara rinci termasuk cara perhitungannya, sehingga daerah dapat mengetahui kemampuan daerahnya dalam melakukan pinjaman.
Walaupun pinjaman merupakan salah satu sumber penerimaan, akan tetapi sampai saat ini belum ada daerah yang melirik dan merumuskan kebijakan tentang pinjaman ini sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan, padahal dimasa yang akan datang sumber pembiayaan yang berasal dari pusat akan sangat terbatas dalam penyediaan barang-barang publik.
Kondisi yang demikian, juga belum diminati daerah kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Jambi, yang terdiri dari satu kota dan sembilan kabupaten setelah mengalami pemekaran wilayah pada tahun 1999. Wilayah yang terletak ditengah Pulau Sumatera ini mempunyai karekteristik yang tidak sama dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonominya, hal ini dikarenakan tingkat kemampuan keuangan masing-masing daerah berbeda, akibat dari perbedaaan sumberdaya yang dimiliki setiap daerah serta adanya perbedaaan kebutuhan masing-masing daerah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.
Perbedaaan ini menyebabkan kemajuan ekonomi antar wilayah tidak merata, sehingga investasi cenderung menuju kedaerah- daerah yang perekonomiannya sudah maju dan memiliki infrastruktur yang memadai, daripada kedaerah yang potensi dan sumberdaya alam serta infrastruktur yang terbatas. Akibatnya bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam tetapi terbatas infrastrukturnya akan sangat sulit sekali untuk berkembang dan menggali potensinya. Padahal dalam era globalisasi setiap daerah nantinya harus mampu bersaing antara pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah lainnya dalam meningkatkan sumber-sumber dana bagi pembangunan daerahnya (Santoso,1995:19)
Sumber utama potensi penerimaan daerah di Propinsi Jambi, terdiri atas dua bahagian yaitu, berasal dari pendapatan asli daerah dan dari instansi yang lebih tinggi berupa bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak serta dari sumbangan dan bantuan, yang selama ini telah memberikan kontribusi yang relatif cukup besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Jambi.
Walaupun sumber penerimaan tersebut telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan daerah, akan tetapi, sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian dan pesatnya aktivitas pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi, menyebabkan kebutuhan akan fasilitas pelayanan masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Sementara kemampuan keuangan pemerintah daerah sangat terbatas. Untuk itu, upaya memanfaatkan pinjaman daerah sebagai alternatif keterbatasan pembiayaan pembangunan perlu dipertimbangkan dan dirumuskan berdasarkan atas kemampuan daerah untuk memperoleh pinjaman.
Sejalan dengan uraian-uraian tersebut, maka yang menjadi permasalahan utama yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah kemampuan keuangan daerah kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Jambi dapat melakukan pinjaman.
1.2 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kemampuan daerah dalam melakukan pinjaman daerah untuk Propinsi Jambi belum pernah dilakukan, sedangkan penelitian untuk daerah propinsi dan daerah kabupaten di daerah lain pernah dilakukan, akan tetapi masih terbatas. Beberapa hasil tulisan yang mengamati masalah kemampuan daerah dan pinjaman, yang dilakukan peneliti terdahulu dijadikan titik tolak dalam penelitian ini, antara lain;
1. Jaya (2000), yang melihat profil Dati II dari aspek potensi penerimaan daerah dan menyatakan, bahwa penyelenggaraan otonomi perlu diimbangi dengan kemampuan untuk menggali dan kebebasan untuk mengalokasikan sumber-sumber pembiayaan pembangunan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerahnya masing-masing.
2. Kim, (1997), yang mencoba melihat peranan sektor publik lokal di dalam pertumbuhan ekonomi regional di Korea, menyimpulkan bahwa, perananan pemerintah daerah sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi regional, yang menyebabkan investasi pemerintah lebih besar dibandingkan dengan konsumsi pemerintah.
3. Miller dan Russek, (1997), yang meneliti mengenai struktur fiskal dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat negara bagian dan lokal, menyimpulkan bahwa pendapatan yang digunakan untuk membiayai pelayanan publik, tidak akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, akan tetapi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
4. Simanjuntak et.al. (2000), yang meneliti kemampuan pemerintah daerah untuk meminjam di era otonomi daerah, menyimpulkan bahwa sebahagian besar daerah kabupaten/kota boleh melakukan pinjaman atau sekitar 80,77 % dan sebanyak 19,23 % kabupaten/kota yang tidak boleh melakukan pinjaman daerah.
5. Yulinawati (1999), yang mencoba melihat mengenai dampak pinjaman daerah terhadap PADS dan PDRB di Kabupaten Lampung Tengah, menunjukkan bahwa pinjaman daerah untuk pembangunan infrastruktur memperlihatkan dampak positif terhadap PDS dan PDRB di Kabupaten Lampung Tengah.
6. Riphat dan Hutahaean (1997) mencoba melihat pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan, menyimpulkan bahwa peranan pinjaman daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah masih relatif kecil, namun memiliki peluang yang besar dan meningkat dimasa akan datang, karena pinjaman daerah dapat mempercepat proses pembangunan yang sedang diupayakan.
7. Sukanto (1999), yang mencoba melihat penerimaan pajak di Indonesia masih sangat rendah, karena dipengaruhi oleh faktor daya beli, pertumbuhan ekonomi,perubahan tingkat bunga, tingkat kurs luar negeri, jumlah pembayar pajak dan objek pajak. Untuk itu perlu ditingkatkannya penerimaan pajak agar dapat dijadikan substitusi pinjaman lauar negeri.
Dari beberapa penelitian yang telah dikemukakan, terdapat perbedaan yang akan dibahas terutama lokasi penelitian, penggunaan variabel dan data yang akan digunakan data terbaru.
1.3. Tujuan Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk;
1. Mengetahui kemampuan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jambi untuk memperoleh pinjaman sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah.
2. Mengetahui besarnya batas maksimum pinjaman daerah yang dapat dilakukan oleh kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jambi.
No comments:
Post a Comment